Medan, kedantv.com – Puluhan mahasiswa dari Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Bersatu Sumatera Utara kembali turun ke jalan, Senin (2/12/2024). Kali ini, mereka menggelar aksi demonstrasi jilid kedua yang dimulai di depan Kantor Polrestabes Medan, Jalan HM Said, sebelum melanjutkan orasi ke Markas Polda Sumut.
Dengan membawa spanduk bertuliskan tuntutan, massa meminta Kapolda Sumatera Utara untuk mencopot Kasatreskrim Polrestabes Medan dan penyidik pembantu Aiptu Ricardo Sitohang, SH, karena diduga tidak amanah dalam menjalankan tugas, segera proses laporan yang sudah 7 bulan mandek.
Sorotan Kasus: Laporan yang Mandek Selama 7 Bulan
Dalam orasinya di Polrestabes Medan, Sutoyo, SH., M.Kn., perwakilan dari massa aksi, menyebutkan bahwa Sehubungan dengan beberapa isu sosial hukum di lingkungan wilayah hukum Polrestabes Medan yang mana adanya beberapa pemberitaan media sosial bahwa ada indikasi diskriminasi hukum yang terjadi pada proses penerimaan laporan yang memiliki kesamaan kasus namun terkesan adanya tebang pilih dalam proses penerimaan hingga penindakan, yang dimana nomor laporan polisi: LP/B/450/IV/2024/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA, dengan dugaan tindak pidana bersama-sama dalam Pasal 351 jo 170 KUHP, yang kemudian LP ini dilimpahkan ke Polrestabes Medan. Kasus ini ditangani oleh unit Pidum Sat Reskrim Polrestabes Medan yang ditangani oleh penyidik pembantu Aiptu Rikardo Sitohang, SH.
Namun, laporan tersebut mangkrak tanpa perkembangan selama tujuh bulan. Di sisi lain, laporan lain yang melibatkan Yanty, seorang warga yang seharusnya menjadi korban, diproses dengan cepat dan penuh dugaan pelanggaran prosedural.
“Hingga 7 (tujuh) bulan lamanya tidak kunjung mendapat suatu keadilan atas pelaporan tersebut padahal dimana diketahui Yanty yang berstatus sebagai Kakak Kandung Sherly, istri dari saudara inisial R pada lokasi tempat kejadian perkara namun tiga hari setelah kejadian. Yanty tiba-tiba dijemput paksa oleh Kepolisian Polrestabes Medan atas laporan yang merupakan sebagai “DELIK ADUAN” dari Laporan Kepolisian dengan Pasal 351 ayat 1 tentang penganiayaan dengan laporan polisi terpisah,” ungkap Sutoyo.
Sutoyo juga menyampaikan bahwa LP/B/1021/IV/2024/SPKT/POLRESTA BES MEDAN hingga hari ini sudah memasuki tahap KASASI, dimana berdasarkan hasil keputusan dari Hakim Pengadilan tinggi memvonis Yanty 6 bulan penjara.
” LP/B/1021/IV/2024/SPKT/POLRESTA BES MEDAN hingga hari ini sudah memasuki tahap KASASI, dimana berdasarkan hasil keputusan dari Hakim Pengadilan tinggi memvonis Yanty 6 bulan penjara,” ungkap Sutoyo.
Kronologi Dugaan Ketidakadilan terhadap Yanty
Sutoyo menjelaskan kejanggalan yang dialami Yanty, salah satu korban dalam kasus ini. Kejanggalan tersebut meliputi:
1. Proses hukum yang cacat prosedur:
Berawal pada Kasus KDRT hingga ke penganiayaan yang mengakibatkan luka serius pada bagian tubuh korban yang juga sebagai Pelapor dan terlapor dari terduga pelaku penganiayaan, namun kami melihat bahwa laporan dari terduga pelaku terkesan dipaksakan dan kami anggap cacat hukum hingga adanya dugaan diskriminasi hukum yang terjadi.
Adapun kecacatan Prosedur Hukum dalam penangkapan Yanty yakni Kejadian di tanggal 5 April 2024, namun pada tanggal 6 April 2024, Kasatreskrim Polrestabes Medan dalam 1 hari tersebut mengeluarkan 3 surat sekaligus yakni Surat Perintah Penyidikan SP.Sidik/651/IV/RES.1.6/2024/Reskrim, Surat Penangkapan SP.Kap/365/IV/Res.1.6/2024/Reskrim, Surat Penetapan Tersangka No.SP.Tap/337/IV/RES.1.6/2024/Reskrim.
Lalu Munculnya 2 (Dua) SPDP dengan nomor tanggal yang sama, tanggal 7 April 2024. Yanty menjadi Tersangka dalam waktu 4 hari setelah kejadian tanpa melewati proses penyelidikan yang benar.
2. Penolakan hak tahanan:
Yanty yang disaat itu dalam kondisi babak belur serta memiliki 2 anak dibawah umur mencoba untuk mengajukan penangguhan tahanan namun secara tegas DITOLAK!!.
Sherly tidak pernah diperiksa baik sebagai undangan maupun sebagai saksi dalam penyidikan. Padahal Sherly merupakan satu dari empat orang dewasa yang berada di TKP.
3. Barang bukti yang diragukan:
Hingga saat ini belum pernah Rekaman CCTV Rumah Pelaku disaat kejadian diberikan, diperlihatkan, ataupun disita dan diperiksa oleh polisi. Bukti yang diberikan Oleh Pihak Pelapor dalam LP ini hanya lah sebuah Sapu Pink dan sebuah Flashdisk yang diduga berisikan rekaman CCTV yang sudah dipotong durasinya hanya beberapa detik, bukti rekaman juga tidak pernah diperiksa oleh LabFor.
4. Kurangnya transparansi penyelidikan:
Dan Yanty dipindahkan ke kejaksaan secara paksa tanpa didampingi kuasa hokum, serta Wawancara yang dilakukan berkali-kali dengan Yanty, yang kesannya hanya menggulur-ulur waktu penyelidikan.
Tidak menyita DVR CCTV tempat kejadian hingga saat ini.
5. Rekonstruksi sepihak dan manipulasi visum:
Melakukan pra-rekonstruksi di tempat kejadian hanya antar penyidik dengan calon tersangka tanpa mengundang pihak pelapor dan korban. Bukti Visum Yanty yang tidak sesuai atau diduga telah dimanipulasi/dirubah. SP Lidik yang sudah diterbitkan sebanyak 4 kali.
“Ini bukan hanya soal Yanty. Kasus ini mencerminkan bagaimana diskriminasi hukum dapat terjadi secara terang-terangan, bahkan melibatkan penyidik yang seharusnya netral,” tegas Sutoyo.
Tuntutan Massa Aksi
Dalam orasi yang berlangsung di depan Polrestabes Medan dan Polda Sumut, massa menyampaikan beberapa tuntutan utama:
1. Segera proses laporan LP/B/450/IV/2024:
Meminta dengan tegas agar Polrestabes Medan tepatnya Sat Reskrim Unit Pidum untuk tidak tebang pilih dalam menangani kasus LP/B/450 yang dilaporkan oleh saudara Erwin atas dugaan tindak pidana penganiayaan hingga mengakibatkan luka serius pada anggota tubuh.
2. Copot Kasatreskrim Polrestabes Medan:
Meminta kepada Kapolresta Medan agar lebih objektif dan penuh rasa keadilan dalam penanganan perkara masyarakat dan juga tidak ada “Diskriminasi hukum”.
3. Evaluasi kinerja Polrestabes Medan:
Meminta kepada Kapolda Sumatera Utara untuk mengevaluasi kinerja Kapolresta Medan dan jajaran karena diduga telah melakukan diskriminasi hukum atas pelaporan masyarakat dengan LP/B/450/IV/2024/SPKT/POLDASUMATERAUTARA dengan dugaan tindak pidana bersama-sama dalam Pasal 351 jo 170 KUHP, yang kemudian laporan ini dilimpahkan ke Polrestabes Medan dan ditangani oleh Unit Pidum Sat Reskrim Polrestabes Medan yang ditangani oleh Penyidik pembantu Aiptu Rikardo Sitohang, SH. Hingga 7 (tujuh) bulan lamanya tidak kunjung mendapati sebuah keadilan atas pelaporan tersebut.
4. Hentikan diskriminasi hukum:
Segera proses laporan atau sebaiknya Kasatreskrim Polrestabes Medan mundur dari jabatan apabila tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut dan jangan pernah ada diskriminasi didalamnya seperti semboyan polri yang presisi sehingga penyelidikan sehingga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
5. Massa Aksi akan melakukan aksi berkelanjutan:
Apabila permintaan kami tidak di akomodir, maka kami akan terus melakukan aksi unjuk rasa secara berkelanjutan sehingga mendapati rasa keadilan baik individu maupun kelompok.
“Kami meminta Kapolda Sumut untuk turun langsung dan memastikan kasus ini diselesaikan dengan adil. Jika tidak, kami akan terus melakukan aksi secara berkelanjutan,” ancam Sutoyo.
Aksi Lanjutan dan Harapan Publik
Di penghujung aksi, Sutoyo menegaskan bahwa aksi ini bukan hanya perjuangan individu, melainkan demi membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
“Jika Polri ingin kembali menjadi institusi yang dipercaya, maka transparansi dan keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tutupnya.
Dialog yang Tak Membawa Solusi
Perwakilan Polrestabes Medan, Sarwedi Manurung selaku Kanit Jahtanras Polrestabes Medan sempat menemui massa dan meminta mereka masuk untuk berdialog. Namun, ajakan tersebut ditolak karena dinilai tidak memberikan solusi konkret. “Kami hanya ingin kasus ini segera diproses,” kata Sutoyo.
Dalam wawancaranya usai aksi di Polrestabes Medan, Koordinator Lapangan Sutoyo mengatakan, “Ini adalah aksi jilid dua atas kekecewaan terhadap Kasatreskrim dan Penyidik pembantu Richardo Sitohang SH, yang hari ini menangani kasus perkara yang sudah 7 bulan mandek dari kasus KDRT hingga berujung sebuah penganiayaan karena kami menganggap ini sebuah kesalahan hukum dengan tidak ada hak dari pada unit PPA untuk melakukan pemeriksaan terhadap dua dari pada korban ataupun sebagai pelapor.”
Ia menjelaskan bahwa penetapan SPPD yang keluar pada tanggal dan hari yang sama menunjukkan kejanggalan dalam penanganan kasus ini di Polrestabes Medan, bahkan terkesan ada upaya pemaksaan hingga menjebloskan seorang ibu yang memiliki dua anak, yang akhirnya memicu aksi damai jilid dua tersebut. Sutoyo juga menambahkan, “Langsung ditetapkan daripada sebuah SPPD yang keluar dalam tanggal dan hari yang sama kami menduga sebuah kejanggalan daripada Polrestabes Medan untuk menangani perkara ini dan kami menduga juga bahwasanya kasus ini begitu terkesan dipaksakan, hingga menjebloskan seorang ibu yang memiliki dua anak inilah yang mengkonfrontir kami untuk turun aksi melakukan pengalangan daripada aksi damai pada hari ini jilid dua.”
Ia mengungkapkan bahwa pihaknya kemungkinan akan melanjutkan aksi ke jilid tiga dan menuntut pencopotan Kasatreskrim maupun pembantu Richardo Sitohang. Sutoyo menegaskan, “dan mungkin akan melakukan jilid 3 dan menuntut sebenar-benarnya untuk Kapolda Sumatera Utara melalui Kasatreskrim Polrestabes Medan copot sekaligus dari pada Kasatreskrim maupun menjadi pembantu Richardo Sitohang. Mungkin itu.”
Koordinator Lapangan tersebut juga menyampaikan kekecewaannya terhadap respons pihak Polrestabes Medan. Ia mengatakan, “Aksi jilid dua ini, kami tetap kecewa karena pernyataannya kalau memang kalian enggak mau ke dalam ya sudah, silakan kalau mau ke Polda juga silakan dan itu adalah sebuah pembahasan dan dialog dua arah yang kami anggap tidak memiliki sebuah kesimpulan ataupun solusi atas aksi kami hari ini. Kami hanya menginginkan dengan kasus perkara yang 7 bulan mandek ini proses segera itu yang kami inginkan agar tidak menjadi sebuah hal poin-poin yang menjadi permasalahannya sehingga masyarakat tidak menjadi percaya terhadap institusi Polri yang presisi pada hari ini.”
Setelah dari Polrestabes Medan, massa melanjutkan aksi ke Polda Sumut.
Dengan membawa spanduk bertuliskan tuntutan, massa meminta Kapolda Sumatera Utara untuk mencopot Kasatreskrim Polrestabes Medan dan penyidik pembantu Aiptu Ricardo Sitohang, SH, karena diduga tidak amanah dalam menjalankan tugas, segera proses laporan yang sudah 7 bulan mandek.
Serta spanduk bertuliskan massa meminta Kanit PPA Ganti!! Penyidik Sinta tanggung jawab. Dearma Sinaga cepat copot atas LP 1099 diduga jadi oknum jualan hukum.
Dalam orasinya massa meneriakkan menyatakan bahwa mereka meminta Kanit PPA untuk diganti, mendesak Penyidik Sinta untuk bertanggung jawab, dan meminta Kanit PPA Dearma Sinaga segera dicopot terkait kasus LP 1099 yang diduga melibatkan praktik jual beli hukum.
“Kami meminta Kanit PPA Ganti!! Penyidik Sinta tanggung jawab. Dearma Sinaga cepat copot atas LP 1099 diduga jadi oknum jualan hukum,” teriakan massa aksi.
Di Polda Sumut, mereka juga menyampaikan tuntutan di depan Polda Sumut, seperti halnya tuntutan aksi yang serupa di Polrestabes Medan.
massa ditemui perwakilan dari Polda Sumut, IPTU Feri Judo, Kanit Hartib 1 Provost Polda Sumut. “disini tadi sudah jelas, Bahwa perkara ini sudah pernah dilakukan dumasan ke Propam Polda langsung sekitar 4 atau 5 hari lalu, yakinlah pasti itu tetap kita akan lakukan penyelidikan,” ujar IPTU Feri Judo.
Selanjutnya perwakilan massa aksi masuk ke Polda Sumut, pihak Polda Sumut untuk berdialog terkait tuntutan massa aksi tersebut, Dan 3 hari kedepan akan ada konfirmasi kepolda lagi terkait tanggapan tentang tuntutan mereka, informasi Sutoyo saat ikut serta didalam saat berkoordinasi dengan Polda Sumut.
Usai aksi di Polda Sumut, Massa aksi membubarkan diri.
Setelah aksi unjuk rasa di Polda Sumut, Koordinator Lapangan Sutoyo mengatakan, “Ini adalah aksi di mana yang pertama ini aksi jilid dua, yang pertama kita aksi di Polrestabes Medan bahwasanya menilik dan melihat kasus di mana KDRT yang berujung kepada penganiayaan di mana juga PPA di sini tidak sesuai daripada profesi untuk bicara tentang perempuan dan anak.”
Ia menjelaskan bahwa laporan bernomor 1021 menunjukkan kurangnya perlindungan dari unit PPA terhadap Yanti yang sudah menjalani hukuman 6 bulan penjara. “Di mana dalam laporan 1021 Yanti ini sudah menjalani hukuman selama 6 bulan penjara jadi tidak ada daripada perlindungan unit PPA untuk melakukan pemeriksaan terlebih dahulu dan seakan dipaksakan dan dalam hal ini juga kami menduga bahwasanya Kasatreskrim tidak profesional dalam penanganan kasus perkara ini,”
lanjutnya. Ia juga menyebut bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Kanit Paminal dan akan bertemu dalam tiga hari ke depan. “Di sini tadi kita sudah berkoordinasi setelah aksi unjuk rasa kita mengajukan daripada pengaduan masyarakat dan Alhamdulillah dalam jangka 3 hari ke depan kita akan bertemu langsung kepada Kanit Paminal atas responsif daripada gerakan aksi unjuk rasa ini kita berharap dari kabit Propam sendiri melakukan tindakan tegas terhadap oknum-oknum institusi polisi polisi yang di mana di sini adalah Kasatreskrim penyidik pembantu kanit PPA lalu yang pastinya Rikardo Sitohang penyidik pembantu yang dalam menangani kasus perkara ini yang kami anggap terlalu dipaksakan,” tutupnya.